Secangkir Cerita Tinta Merah Muda

Dalam setiap pagi yang dijalani, selalu ada yang berbeda. Meskipun banyak yang bilang, hidup ini sepertinya terlalu kacau dan monoton untuk dijalani. Namun nyatanya, jika mata kita punya lebih dari satu jiwa, warna di setiap pagi dapat kita buat sendiri. Warna kesukaanku adalah hitam, cokelat, biru dan merah muda. Mohon maaf sebelumnya, merah muda itu adalah warna senja kesukaanku, karena itu pertama kalinya senja menuju malam ku nikmati hanya dengan tawa dan sebatang rokok. Disisi lain, warna hitam, cokelat dan biru adalah warna yang menyimpan terlalu banyak langkah ku setahun ini. Di tempat asing yang menjadi rumah kedua, perpustakaan mimik dan rasa, serta katalog sejarah dan prasasti-nya yang tumpang tindih berubah seiring waktu menggerus debu tebal disetiap lembar pertemuan. Paragraf ini adalah hasil kekhilafan yang berbuah pelajaran dengan diksi yang ku tabung selama setahun belakangan, beberapa album band hardcore dan band indie di Jakarta, serta buku-buku yang kubeli secara random di tempat tempat yang menurutku “ajaib”. 

Ruang Kaca Bukan Tempat Bertemu

Ruang Kaca Bukan Tempat Bertemu


Lahir dalam teriakan dunia yang minta bunuh diri bersamaan dengan dentuman tanpa suara. Kami menulis apa yang ingin kami lihat, meskipun harus menjahit kulit baru diatas gading busuk berbelatung, sedikit lapisan senyum berkarat dan celoteh bijak kutipan dari kertas bekas gorengan ayah tadi pagi. Voila “Aku” terlahir sempurna, begitu juga kalian, para pendusta. 

Ya tolong maklumilah, kami membohongi diri sendiri karena paksaan televisi yang setiap detik menyajikan kenyataan nasi basi dan bangkai bangkai yang menari diatas piring pengemis darah. Sudah kukatakan dulu padamau, ruang kaca semu bukanlah tempat bertemu, hai gadisku. Itu hanyalah tempat penjudi mengiris telinganya dan memaksakan diri menelan opini visual menggunakan telinga, dengan dorongan kata “Bayangkaaaaaaaan”. 

Ah, komedi memang. Kenyataan yang kau paksakan untuk berterusterang dimuka umum, digerakkan oleh kebohongan untuk membuat kenyataan lain menjadi kabur adanya.

Cerita Kerudung Cokelat

VI

Karena Tanda Tanya

“Untuk mu hujan, beri kami angin yang tak berputar. Kami hanya manusia, bukan ombak yang sanggup terombang ambing dan tetap bersama. Kami pun bukan pelangi yang mampu berdiri sendiri setelah kau pergi. Untuk mu hujan, aku rindu.” Ja’far Subhi 10/3/13

Maaf jika aku enggan menuliskan cerita kita, bukan karena rasa menjadi hambar atau warna mulai buta, tapi karena takut yang menekan, karena tak adanya jawab tanpa retorika. Bukan pula karena cokelat tak lagi memanjakan lidah cengeng ku, tapi karena manisnya yang menimbulkan tanda tanya. Akan kah hujan tiba untuk menghapus gersang, akan kah tinta hitam menulis dikertas yang memang untuknya.

Untuk mu, kutinggalkan secarik. Mungkin kau bisa membantuku mengguratkan potongan detik yang menjadi hari dan kuharap menahun sampai bumi bosan berputar. Atau mungkin kau bisa tulikan huruf kapital untuk melanjutkan kisah dengan tanda baca yang membuatnya tak lagi buta dan meraba makna dengan atau tanpa aku didalamnya.

“aku tau kalimat apa yang bermakna tanpa henti walau tanpa tanda tanya. Aku afeksi kamu. Tapi toh ada “titik” yang menandakan awal dan akhir dari kalimat itu” Ja’far Subhi 29/3/13
Untuk mu. Nona kerudung cokelat dengan rona merah di pipi setelah tertawa dalam canda senja. Kutitipkan secarik kertas ini untuk kau tulis sesukamu, entah tentang cerita kita nantinya atau ceritamu dengannya.

Cerita Kerudung Cokelat

V

Senandung Benteng Pahlawan

Entah kenapa, pagi ini lebih cerah dan sumringah senyum ku, itu kata mama ku. Aku hanya bisa meneruskan langkah ku keluar rumah sambil siul siul. Tak dapat ku jawan pertanyaan mama karena kata pun tak cukup makna untuk menjelaskan dentuman morse yang mengalun di dada kiri ku. Taman Mini Indonesia Indah. Indonesia memang indah, tapi tak semua manusia mempunyai detik untuk menikmatinya. Dan tidak semua orang bisa memahami keindahan yang mungkin hanya aku yang rasakan. Autis memang.

Kerudung cokelat, wanita yang ku analogikan bagai koin, 2 sisi dalam 1 raga. Dia dewasa dan kekanak-kanakan dalam waktu yang bersamaan. Lucu memang, atau hanya sel otak ku yang sudah teracui gas tertawa dari kotak pandoranya. Ini pertama kalinya dia ke TMII, begitu katanya, wajar, dia gadis barat, sedangkan aku makhluk timur yang sudah jelas tidak berjarak dengan TMII.

Pertama kali ku pijak gerbang Museum Pahlawan langit menyombongkan 2 sisi lukisannya, kanvas putih biru VS abu abu. Ternyata abu abu memberkan kami pidato sambutan yang diakhiri dengan tepukan dan sorak soray hujan kepada dedaunan yang rindu akan belaiannya. Pagi optimis ku hampir terbalik, namun teriakan itu menguatkan cakar ayam yang hampir goyah karena di dera hawa dingin. “Kiboooooooo” teriakan dengan chord D# tersangkut di telinga caplang ku. Dari atas Museum Pahlawan yang membenteng frekuensi itu berasal, milik nona kerudung cokelat dengan senyum sumringah. Aku pun tertawa karena dari semua temannya, hanya namaku yang dia teriakan. Saturday is my day, itu kata jantung lokomotif ku.

Ditengah keramaian kami menyapa di udara, “hai cokelat” begitu kata ku. “Hai gorilla” begitu balasnya, dan canda kami pun mulai memecah fokus kedua bola mata. Akward memang, ketika jarak bukan halangan tetapi didalam keramaian kami berbicara melaluin frekuensi maya. Senyum lebar terpatri di bibir ku, sambil berkata dalam hati “ini dunia kami, mereka tau apa? Cukup aku dan dia”.

Pukul 12 mulai meneriakkan alarm-nya yang gaduh dan membuat perutku berteriak gerang, hanya sebungkus Beng-Beng yang kubawa. Disudut sana, dia keluarkan spageti lembek dari kotak makan siangnya. “Ini kematengang, ditinggal mandi tadi, hehe”. Masa bodo fikir ku, asalkan kau yang buat, tahi lalatpun terasa cokelat. Tak ada kata, tak ada cerita siang itu hanya senyuman yang abstrak makna dan membuatku tetap menuliskan alinea demi alinea penuh suka dan tanya. Tanda baca yang selalu mengganggu setiap alinea.
Saat semua kesibukan berakhir, kami pulang sejalan seperti yang dijanjikan. Lampu jalanan kami buat iri dengan tawa dan senyum diatas kuda besi. Suara knalpot bising menjadi bisu karena tawanya. Mungkin ini hadiah dari sang pelukis langit, ditambah lagi dengan bonusnya, kanvas biru yang tadinya biru sendiri beranjak memerah, mungkin mereka sedang tersipu malu melihat kami dari atas sama. Senja magenta, tersenyum tanpa adanya gemuruh angin yang melarangnya menggurat senyum kami. Senja magenta, lembayung katanya, kata itu menjadi harmoni saat pukul 6 mulai menerikkan panggilan-Nya. Terima kasih untuk-Mu yang meletakkanku dalam diorama yang sulit ku ubah namun terlalu indah untuk kutinggalkan, terima kasih untukmu yang mengijinkanku duduk diteras rumahmu yang indah walau datang tanpa permisi, disini bisa ku nikmati angin yang datang meredam api ini, hujan yang menyejukkan bara api sisa, dan pagi malam tanpa potongan retorika namun fakta yang membawaku kedalam fantasimu.

Cerita Kerudung Cokelat

IV

Analogi Sendiri



"Ketika takdir membuat cerita, Aku terlahir sedemikian rumitnya. Disebrang sana kau tercipta dengan keindahan bak nirwana. Raga ku ini terangkai untuk membuat binasa. Saat engkau disana ada untuk mewarnai dunia. Panca indraku terbiasa untuk memangsa. Disaat engkau memaniskan hidup mereka yang senja. Aku bagai laba laba yang jatuh karena keindahan sedap malam. 8 kaki ku lumpuh karena melihat wujudmu teduh. Salahkan takdir yang membuatku jadi nista, bukan kumbang kecil yang bisa hinggap didekatmu.”

Inilah analogi yang kubuat seenak kriboku ketika tersedak dengan cerita yang masih dia tunggu. Entah ini hanya untaian kata pembuang resah tau sepotoh kenyataan yang aku rasakan. Namun setelah melihat senyumnya pagi itu, serpihan keraguan ini kembali ku olah dan kubentuk sedemikian rupa agar menjadi pedang tajam yang siap untuk berperang sampai jantungku bosan untuk memompakan darah yang menjadi tinta dalam cerita yang ku mulai.

Cerita Kerudung Cokelat

III

Jawaban Menjadi Pertanyaan

     Hari kamis entah bulan apa, kupaksa dia datang dengan alasan untuk mengisi waktu luang yang terasa sia sia jika hanya diisi dengan kegiatan menyelam diatas kasur. Diapun mengiyakan karena siang itu ada kegiatan kerohanian, “untuk mengisi hati” begitu katanya. Awan bermuka masam sudah menyambutku sore itu, sambil menunggu dia datang di tepian orang yang berlalu lalang. Ody, gitar kesayangannya, benda itu yang menjadi temanku saat gumpalan awan datang dengan marah dan angin yang mulai berlalu lalang. Kurasa dia tak jadi datang sore itu.

Salah! Dia datang! Bertemankan payung lucu karena dia dikejar butiran air yang turun setelah awan dan angin berkelahi, air itu turun membasahi tanah gersang. Tawa kecilku dalam hati mengguratkan senyum sekedarnya saat melihat dia tepati janji. Tapi butiran air datang dengan gaduh bersama dengan angin ricuh menutup suara riang kami, dan hembusan angin datang keroyokan membuat kerudungnya ruet diterjang angin yang membuat hidung mungilnya menggigil. Kuberikan jaketku agar hijabnya terjaga, tapi jujur, tubuh kurusku ini terlalu sombong dan ringkih untung melawan angin yang datang berjamaah.

Kubakar sebatang rokok dan mencoba untuk menahan dingin yang menusuk dari perut sampai tulang punggung, dan saat itu pula dia mengeluarkan kerudung miliknya dari tas “Nih pake”. Kerudung cokelat melilit di leherku yang hanya seluas genggaman 2 tangan. Hangat. Bukan tubuh, tapi hati, entah dari mana datangnya, mungkin kerudung cokelat miliknya yang kusulap jadi scarf, atau dari senyum sederhana miliknya sore itu.Entah apa namanya, yang jelas kini aku berada ditengah peta tanpa arah, petualanganku menguji seberapa kuat dan berani aku maju tanpa memikirkan resiko untuk dapat memandang senyum itu dalam dalam.

   Bulan sudah bosan berputar sesuka hati sampai akhirnya babak baru dalam cerita kamipun dimulai. Perlahan ku coba membawanya masuk kedalam bab ini setelah ku berhasil menyelesaikan puzzle alam bawah sadarku yang belakangan ini mulai meronta ronta karena belum tau arah. Memang butuh waktu lama untuk memahami apa yang sebenarnya kepala mie gorengku ini inginkan. Tapi toh akhirnya babak ini tertulis tanpa tinta ketika aku mulai memasuki dunia bernyawa miliknya. Dan bonusnya, aku menemukan segelas masa lalu yang belum dapat dia tinggalkan begitu saja. Gelas penuh penantian tanpa kepastian, terisi penuh dengan pengharapannya akan masa lalu tanpa ingat siapa nanti yang ada didepannya.

 Gelas ini kubawa saat ku mulai bercerita pada sederet siluet teman bicara, karena lagi lagi aku masuk kedalam dunia yang seharusnya bukan tempatku bertahta. Tapi mereka, siluet tempatku membagi naskah hidup, hanya tertawa saat mendengar cerita tentang manusia asap kribo dan wanita yang bertahtakan berlian surga yang masih tersangkut didalam segelas cerita SMAnya. Ku coba acuhkan semua ocehan siluet yang menemaniku malam itu karena “progresif”, sebuah kata singkat yang memiliki arti lebih besar dibandingkan  beban yang pikul dewa Atlas dalam mitos Yunani.

  Banyak yang sulit ku tuliskan pada bab ini, karena segelas masa lalunya yang ku telan mentah mentah tanpa bismillah sudah membuat kerongkongan ini serak dan tersedak setiap ingin berucap. Akhirnya dengan terpaksa, aku meminta bantuan dunia digital untuk menyampaikan apa yang sulit kuteriakan. Walaupun akhirnya aku dan wanita kerudung cokelat itu jadi sering memperdebatkan ideologi kami yang mereka anggap bodoh.


   Disatu sisi,  aku, seorang pemimpi yang terlalu banyak menyimpan ikon positif di sela-sela rambutku yang sulit di sisir. Sedangkan dia, wanita kerudung cokelat, seorang petani bawah tanah yang selalu memupuk bibit rindunya dengan segenap doa dan kesabaran, walau tanpa ada kejelasan bila mana keping bibit itu akan tumbuh dan menemaninya. Dan perdebatan itupun terhenti setelah tanda seru ku ukir di akhir alinea proklamasi hati.

Diberdayakan oleh Blogger.