Cerita Kerudung Cokelat

VI

Karena Tanda Tanya

“Untuk mu hujan, beri kami angin yang tak berputar. Kami hanya manusia, bukan ombak yang sanggup terombang ambing dan tetap bersama. Kami pun bukan pelangi yang mampu berdiri sendiri setelah kau pergi. Untuk mu hujan, aku rindu.” Ja’far Subhi 10/3/13

Maaf jika aku enggan menuliskan cerita kita, bukan karena rasa menjadi hambar atau warna mulai buta, tapi karena takut yang menekan, karena tak adanya jawab tanpa retorika. Bukan pula karena cokelat tak lagi memanjakan lidah cengeng ku, tapi karena manisnya yang menimbulkan tanda tanya. Akan kah hujan tiba untuk menghapus gersang, akan kah tinta hitam menulis dikertas yang memang untuknya.

Untuk mu, kutinggalkan secarik. Mungkin kau bisa membantuku mengguratkan potongan detik yang menjadi hari dan kuharap menahun sampai bumi bosan berputar. Atau mungkin kau bisa tulikan huruf kapital untuk melanjutkan kisah dengan tanda baca yang membuatnya tak lagi buta dan meraba makna dengan atau tanpa aku didalamnya.

“aku tau kalimat apa yang bermakna tanpa henti walau tanpa tanda tanya. Aku afeksi kamu. Tapi toh ada “titik” yang menandakan awal dan akhir dari kalimat itu” Ja’far Subhi 29/3/13
Untuk mu. Nona kerudung cokelat dengan rona merah di pipi setelah tertawa dalam canda senja. Kutitipkan secarik kertas ini untuk kau tulis sesukamu, entah tentang cerita kita nantinya atau ceritamu dengannya.

Cerita Kerudung Cokelat

V

Senandung Benteng Pahlawan

Entah kenapa, pagi ini lebih cerah dan sumringah senyum ku, itu kata mama ku. Aku hanya bisa meneruskan langkah ku keluar rumah sambil siul siul. Tak dapat ku jawan pertanyaan mama karena kata pun tak cukup makna untuk menjelaskan dentuman morse yang mengalun di dada kiri ku. Taman Mini Indonesia Indah. Indonesia memang indah, tapi tak semua manusia mempunyai detik untuk menikmatinya. Dan tidak semua orang bisa memahami keindahan yang mungkin hanya aku yang rasakan. Autis memang.

Kerudung cokelat, wanita yang ku analogikan bagai koin, 2 sisi dalam 1 raga. Dia dewasa dan kekanak-kanakan dalam waktu yang bersamaan. Lucu memang, atau hanya sel otak ku yang sudah teracui gas tertawa dari kotak pandoranya. Ini pertama kalinya dia ke TMII, begitu katanya, wajar, dia gadis barat, sedangkan aku makhluk timur yang sudah jelas tidak berjarak dengan TMII.

Pertama kali ku pijak gerbang Museum Pahlawan langit menyombongkan 2 sisi lukisannya, kanvas putih biru VS abu abu. Ternyata abu abu memberkan kami pidato sambutan yang diakhiri dengan tepukan dan sorak soray hujan kepada dedaunan yang rindu akan belaiannya. Pagi optimis ku hampir terbalik, namun teriakan itu menguatkan cakar ayam yang hampir goyah karena di dera hawa dingin. “Kiboooooooo” teriakan dengan chord D# tersangkut di telinga caplang ku. Dari atas Museum Pahlawan yang membenteng frekuensi itu berasal, milik nona kerudung cokelat dengan senyum sumringah. Aku pun tertawa karena dari semua temannya, hanya namaku yang dia teriakan. Saturday is my day, itu kata jantung lokomotif ku.

Ditengah keramaian kami menyapa di udara, “hai cokelat” begitu kata ku. “Hai gorilla” begitu balasnya, dan canda kami pun mulai memecah fokus kedua bola mata. Akward memang, ketika jarak bukan halangan tetapi didalam keramaian kami berbicara melaluin frekuensi maya. Senyum lebar terpatri di bibir ku, sambil berkata dalam hati “ini dunia kami, mereka tau apa? Cukup aku dan dia”.

Pukul 12 mulai meneriakkan alarm-nya yang gaduh dan membuat perutku berteriak gerang, hanya sebungkus Beng-Beng yang kubawa. Disudut sana, dia keluarkan spageti lembek dari kotak makan siangnya. “Ini kematengang, ditinggal mandi tadi, hehe”. Masa bodo fikir ku, asalkan kau yang buat, tahi lalatpun terasa cokelat. Tak ada kata, tak ada cerita siang itu hanya senyuman yang abstrak makna dan membuatku tetap menuliskan alinea demi alinea penuh suka dan tanya. Tanda baca yang selalu mengganggu setiap alinea.
Saat semua kesibukan berakhir, kami pulang sejalan seperti yang dijanjikan. Lampu jalanan kami buat iri dengan tawa dan senyum diatas kuda besi. Suara knalpot bising menjadi bisu karena tawanya. Mungkin ini hadiah dari sang pelukis langit, ditambah lagi dengan bonusnya, kanvas biru yang tadinya biru sendiri beranjak memerah, mungkin mereka sedang tersipu malu melihat kami dari atas sama. Senja magenta, tersenyum tanpa adanya gemuruh angin yang melarangnya menggurat senyum kami. Senja magenta, lembayung katanya, kata itu menjadi harmoni saat pukul 6 mulai menerikkan panggilan-Nya. Terima kasih untuk-Mu yang meletakkanku dalam diorama yang sulit ku ubah namun terlalu indah untuk kutinggalkan, terima kasih untukmu yang mengijinkanku duduk diteras rumahmu yang indah walau datang tanpa permisi, disini bisa ku nikmati angin yang datang meredam api ini, hujan yang menyejukkan bara api sisa, dan pagi malam tanpa potongan retorika namun fakta yang membawaku kedalam fantasimu.

Cerita Kerudung Cokelat

IV

Analogi Sendiri



"Ketika takdir membuat cerita, Aku terlahir sedemikian rumitnya. Disebrang sana kau tercipta dengan keindahan bak nirwana. Raga ku ini terangkai untuk membuat binasa. Saat engkau disana ada untuk mewarnai dunia. Panca indraku terbiasa untuk memangsa. Disaat engkau memaniskan hidup mereka yang senja. Aku bagai laba laba yang jatuh karena keindahan sedap malam. 8 kaki ku lumpuh karena melihat wujudmu teduh. Salahkan takdir yang membuatku jadi nista, bukan kumbang kecil yang bisa hinggap didekatmu.”

Inilah analogi yang kubuat seenak kriboku ketika tersedak dengan cerita yang masih dia tunggu. Entah ini hanya untaian kata pembuang resah tau sepotoh kenyataan yang aku rasakan. Namun setelah melihat senyumnya pagi itu, serpihan keraguan ini kembali ku olah dan kubentuk sedemikian rupa agar menjadi pedang tajam yang siap untuk berperang sampai jantungku bosan untuk memompakan darah yang menjadi tinta dalam cerita yang ku mulai.

Cerita Kerudung Cokelat

III

Jawaban Menjadi Pertanyaan

     Hari kamis entah bulan apa, kupaksa dia datang dengan alasan untuk mengisi waktu luang yang terasa sia sia jika hanya diisi dengan kegiatan menyelam diatas kasur. Diapun mengiyakan karena siang itu ada kegiatan kerohanian, “untuk mengisi hati” begitu katanya. Awan bermuka masam sudah menyambutku sore itu, sambil menunggu dia datang di tepian orang yang berlalu lalang. Ody, gitar kesayangannya, benda itu yang menjadi temanku saat gumpalan awan datang dengan marah dan angin yang mulai berlalu lalang. Kurasa dia tak jadi datang sore itu.

Salah! Dia datang! Bertemankan payung lucu karena dia dikejar butiran air yang turun setelah awan dan angin berkelahi, air itu turun membasahi tanah gersang. Tawa kecilku dalam hati mengguratkan senyum sekedarnya saat melihat dia tepati janji. Tapi butiran air datang dengan gaduh bersama dengan angin ricuh menutup suara riang kami, dan hembusan angin datang keroyokan membuat kerudungnya ruet diterjang angin yang membuat hidung mungilnya menggigil. Kuberikan jaketku agar hijabnya terjaga, tapi jujur, tubuh kurusku ini terlalu sombong dan ringkih untung melawan angin yang datang berjamaah.

Kubakar sebatang rokok dan mencoba untuk menahan dingin yang menusuk dari perut sampai tulang punggung, dan saat itu pula dia mengeluarkan kerudung miliknya dari tas “Nih pake”. Kerudung cokelat melilit di leherku yang hanya seluas genggaman 2 tangan. Hangat. Bukan tubuh, tapi hati, entah dari mana datangnya, mungkin kerudung cokelat miliknya yang kusulap jadi scarf, atau dari senyum sederhana miliknya sore itu.Entah apa namanya, yang jelas kini aku berada ditengah peta tanpa arah, petualanganku menguji seberapa kuat dan berani aku maju tanpa memikirkan resiko untuk dapat memandang senyum itu dalam dalam.

   Bulan sudah bosan berputar sesuka hati sampai akhirnya babak baru dalam cerita kamipun dimulai. Perlahan ku coba membawanya masuk kedalam bab ini setelah ku berhasil menyelesaikan puzzle alam bawah sadarku yang belakangan ini mulai meronta ronta karena belum tau arah. Memang butuh waktu lama untuk memahami apa yang sebenarnya kepala mie gorengku ini inginkan. Tapi toh akhirnya babak ini tertulis tanpa tinta ketika aku mulai memasuki dunia bernyawa miliknya. Dan bonusnya, aku menemukan segelas masa lalu yang belum dapat dia tinggalkan begitu saja. Gelas penuh penantian tanpa kepastian, terisi penuh dengan pengharapannya akan masa lalu tanpa ingat siapa nanti yang ada didepannya.

 Gelas ini kubawa saat ku mulai bercerita pada sederet siluet teman bicara, karena lagi lagi aku masuk kedalam dunia yang seharusnya bukan tempatku bertahta. Tapi mereka, siluet tempatku membagi naskah hidup, hanya tertawa saat mendengar cerita tentang manusia asap kribo dan wanita yang bertahtakan berlian surga yang masih tersangkut didalam segelas cerita SMAnya. Ku coba acuhkan semua ocehan siluet yang menemaniku malam itu karena “progresif”, sebuah kata singkat yang memiliki arti lebih besar dibandingkan  beban yang pikul dewa Atlas dalam mitos Yunani.

  Banyak yang sulit ku tuliskan pada bab ini, karena segelas masa lalunya yang ku telan mentah mentah tanpa bismillah sudah membuat kerongkongan ini serak dan tersedak setiap ingin berucap. Akhirnya dengan terpaksa, aku meminta bantuan dunia digital untuk menyampaikan apa yang sulit kuteriakan. Walaupun akhirnya aku dan wanita kerudung cokelat itu jadi sering memperdebatkan ideologi kami yang mereka anggap bodoh.


   Disatu sisi,  aku, seorang pemimpi yang terlalu banyak menyimpan ikon positif di sela-sela rambutku yang sulit di sisir. Sedangkan dia, wanita kerudung cokelat, seorang petani bawah tanah yang selalu memupuk bibit rindunya dengan segenap doa dan kesabaran, walau tanpa ada kejelasan bila mana keping bibit itu akan tumbuh dan menemaninya. Dan perdebatan itupun terhenti setelah tanda seru ku ukir di akhir alinea proklamasi hati.

Cerita Kerudung Cokelat

II

Memutar arah jarum

Aku mundur sejenak sebelum kembali maju menuliskan potongan detik dan jam yang kami lalui. Ku mulai dengan mengurutkan timeline cerita yang berawal dengan banyak tanda tanya. Akhirnya, aku pun menuliskan tanda koma agar cerita ini tak terhenti dengan jawaban alibi. Setelah kubaca kembali jejak jariku beberapa bulan lalu, ternyata benar, aku dan dia punya cerita abstrak dan hanya kami yang miliki.

Semester 1, saat semua orang bergegas mengejar kasur empuk mereka, ku hentikan langkahnya karena terpikat dengan gitar berdawai nylon miliknya. Aneh memang, akupun baru menyadarinya. Kenapa hanya gitarnya? Bongkahan kayu yang diperdaya sedemikian rupa sampai akhirnya berubah menjadi kotak berdawai merdu? Kenapa bukan dia? Ciptaan tuhan, dari triliunan sel yang berkumpul jadi satu lalu meneriakkan tangis merdu saat keluar dari tempat ternyaman di dunia, namun menciptakan bidadari tanpa kata yang kini menjadi makhluk indah terumit yang aku kenal.

Kembali kucoba berfikir rasional. Siapa bilang hanya gitarnya yang membuatku menghentikanya? Aku mulai membersihkan telinga dan mataku yang korup ini dan memasangnya rapat rapat setelah gadis itu ikut menyanyikan lagu Bring Me To Life milik Evanecense. Mungkin itulah alunan pita suara miliknya yang pertama terekam otak kopi hitamku ini. Dan membekas sampai sekarang.

Matahari mulai bosan bertengger tak berteman, dan akhirnya diapun meredupkan sinarnya sebelum kembali keperaduan. Dengan terburu buru, nona kacamata yang baru ku kenal, pulang dan membawa gitar nylonnya. Belum ada yang terjadi pada sore itu, namanyapun sama sekali belum tersemat di bilik hati. Tapi, alunan suaranya masih membekas disini, bagaikan bekas kopi hitam yang kutumpahkan di kertas putih tempatku menuliskan jurnal kampus hijau yang sedang porak poranda oleh mesin mesin bersuara monster.    


Haripun berlanjut, dan akhirnya ku jadikan Ody (panggilan yang diberikan gadis kerudung coklat itu untuk gitar kesayangannya) sebagai comblang kami. Dan dari dialah untaian kalimat mulai dapat kukirimkan kepada wanita Sunda dengan mata sipit.

Cerita Kerudung Cokelat

I

Berawal Dari mana

Dia, seharusnya dialah sosok yang aku kenal sejak semeter 1 ini dimulai, sejak perkuliahan dikampus hijau ini berjalan. Dan seharusnya dialah siluet yang menjadi bayangan ku kala senja merah tiba. Akan tetapi, pertemuan itu tertunda. Entah karena dia yang enggan untuk menyombongkan sinarnya di duniaku yang gelap, atau mataku yang terlalu binal karena dibutakan buaian lampu taman.

Senandung ini mulai menghantui malam panjang ku sejak suara indah itu masuk kedalam ponsel malam itu. Entah setan apa dan dari mana yang menutup mata dan telinga hati hingga sadar ku terlambat sejauh ini. Tak habis pikir otak bodohku ini baru menyadari adanya bongkahan berlian ditumpukan mutiara pasir putih. “Black Diamond” kataku. Sebongkah batu terkeras yang tercipta karena kesabaran bumi yang menjaganya, sulit dipengaruhi panasnya temperatur tungku api sekalipun, dan dia enggan menampakkan cahayanya yang congkak.

Ah, sayang sekali aku terlambat terjaga dari ruang maya yang menutup fakta. Mungkin salahku yang tak pernah memandanginya, atau dia yang tidak pernah membebaskan indahnya untuk dilihat dunia semu. Masa bodolah! Yang aku tau sekarang, rambut rumit ku ini sudah dikalahkan kata hati yang tidak dapat dituliskan tinta hitam yang membosankan.

Haha, tau apa aku soal kata hati, apa lagi soal cinta. Mencintai diri sendiripun aku masih belum bisa. Insomnia sudah menikahi raga ini, asap dan asam kopi sudah ku anggap sebagai nafkah lahir batin. Tapi, roti bakar keju, itu cerita lain. Roti bakar keju kini menjadi kudapan lucuku disaat matahari mulai melagak. Roti bakar, tentu saja bukan aku yang memulai kebiasaan yang menurutku mewah. Dia yang memulainya. Datang dihari kelima perkuliahan dengan wajah terhias rona merah muda karena sedang tergesa-gesa mengejar kelasnya pagi itu. Sedangkan aku, si Pemalas berkulit sawo matang yang sedang menikmati hembusan angin dan asap di tepi lorong sambil merebahkan tubuh kurusku.

Sesaat aku berfikir, tak mungkin ada tegur sapa siang itu. Tapi imaji bodohku ternyata benar benar bodoh. Benar saja, tidak ada tegur sapa. Tapi, dengan senyum lugunya, ia datang menghampiriku, membawakan roti bakar keju hangat yang menjadi rebutan siang yang hanya bisa melihat. Kubuat mereka iri, karena hanya aku yang mendapat senyum hangat darinya pada siang itu.

Diberdayakan oleh Blogger.