Cerita Kerudung Cokelat

I

Berawal Dari mana

Dia, seharusnya dialah sosok yang aku kenal sejak semeter 1 ini dimulai, sejak perkuliahan dikampus hijau ini berjalan. Dan seharusnya dialah siluet yang menjadi bayangan ku kala senja merah tiba. Akan tetapi, pertemuan itu tertunda. Entah karena dia yang enggan untuk menyombongkan sinarnya di duniaku yang gelap, atau mataku yang terlalu binal karena dibutakan buaian lampu taman.

Senandung ini mulai menghantui malam panjang ku sejak suara indah itu masuk kedalam ponsel malam itu. Entah setan apa dan dari mana yang menutup mata dan telinga hati hingga sadar ku terlambat sejauh ini. Tak habis pikir otak bodohku ini baru menyadari adanya bongkahan berlian ditumpukan mutiara pasir putih. “Black Diamond” kataku. Sebongkah batu terkeras yang tercipta karena kesabaran bumi yang menjaganya, sulit dipengaruhi panasnya temperatur tungku api sekalipun, dan dia enggan menampakkan cahayanya yang congkak.

Ah, sayang sekali aku terlambat terjaga dari ruang maya yang menutup fakta. Mungkin salahku yang tak pernah memandanginya, atau dia yang tidak pernah membebaskan indahnya untuk dilihat dunia semu. Masa bodolah! Yang aku tau sekarang, rambut rumit ku ini sudah dikalahkan kata hati yang tidak dapat dituliskan tinta hitam yang membosankan.

Haha, tau apa aku soal kata hati, apa lagi soal cinta. Mencintai diri sendiripun aku masih belum bisa. Insomnia sudah menikahi raga ini, asap dan asam kopi sudah ku anggap sebagai nafkah lahir batin. Tapi, roti bakar keju, itu cerita lain. Roti bakar keju kini menjadi kudapan lucuku disaat matahari mulai melagak. Roti bakar, tentu saja bukan aku yang memulai kebiasaan yang menurutku mewah. Dia yang memulainya. Datang dihari kelima perkuliahan dengan wajah terhias rona merah muda karena sedang tergesa-gesa mengejar kelasnya pagi itu. Sedangkan aku, si Pemalas berkulit sawo matang yang sedang menikmati hembusan angin dan asap di tepi lorong sambil merebahkan tubuh kurusku.

Sesaat aku berfikir, tak mungkin ada tegur sapa siang itu. Tapi imaji bodohku ternyata benar benar bodoh. Benar saja, tidak ada tegur sapa. Tapi, dengan senyum lugunya, ia datang menghampiriku, membawakan roti bakar keju hangat yang menjadi rebutan siang yang hanya bisa melihat. Kubuat mereka iri, karena hanya aku yang mendapat senyum hangat darinya pada siang itu.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.