Cerita Kerudung Cokelat

V

Senandung Benteng Pahlawan

Entah kenapa, pagi ini lebih cerah dan sumringah senyum ku, itu kata mama ku. Aku hanya bisa meneruskan langkah ku keluar rumah sambil siul siul. Tak dapat ku jawan pertanyaan mama karena kata pun tak cukup makna untuk menjelaskan dentuman morse yang mengalun di dada kiri ku. Taman Mini Indonesia Indah. Indonesia memang indah, tapi tak semua manusia mempunyai detik untuk menikmatinya. Dan tidak semua orang bisa memahami keindahan yang mungkin hanya aku yang rasakan. Autis memang.

Kerudung cokelat, wanita yang ku analogikan bagai koin, 2 sisi dalam 1 raga. Dia dewasa dan kekanak-kanakan dalam waktu yang bersamaan. Lucu memang, atau hanya sel otak ku yang sudah teracui gas tertawa dari kotak pandoranya. Ini pertama kalinya dia ke TMII, begitu katanya, wajar, dia gadis barat, sedangkan aku makhluk timur yang sudah jelas tidak berjarak dengan TMII.

Pertama kali ku pijak gerbang Museum Pahlawan langit menyombongkan 2 sisi lukisannya, kanvas putih biru VS abu abu. Ternyata abu abu memberkan kami pidato sambutan yang diakhiri dengan tepukan dan sorak soray hujan kepada dedaunan yang rindu akan belaiannya. Pagi optimis ku hampir terbalik, namun teriakan itu menguatkan cakar ayam yang hampir goyah karena di dera hawa dingin. “Kiboooooooo” teriakan dengan chord D# tersangkut di telinga caplang ku. Dari atas Museum Pahlawan yang membenteng frekuensi itu berasal, milik nona kerudung cokelat dengan senyum sumringah. Aku pun tertawa karena dari semua temannya, hanya namaku yang dia teriakan. Saturday is my day, itu kata jantung lokomotif ku.

Ditengah keramaian kami menyapa di udara, “hai cokelat” begitu kata ku. “Hai gorilla” begitu balasnya, dan canda kami pun mulai memecah fokus kedua bola mata. Akward memang, ketika jarak bukan halangan tetapi didalam keramaian kami berbicara melaluin frekuensi maya. Senyum lebar terpatri di bibir ku, sambil berkata dalam hati “ini dunia kami, mereka tau apa? Cukup aku dan dia”.

Pukul 12 mulai meneriakkan alarm-nya yang gaduh dan membuat perutku berteriak gerang, hanya sebungkus Beng-Beng yang kubawa. Disudut sana, dia keluarkan spageti lembek dari kotak makan siangnya. “Ini kematengang, ditinggal mandi tadi, hehe”. Masa bodo fikir ku, asalkan kau yang buat, tahi lalatpun terasa cokelat. Tak ada kata, tak ada cerita siang itu hanya senyuman yang abstrak makna dan membuatku tetap menuliskan alinea demi alinea penuh suka dan tanya. Tanda baca yang selalu mengganggu setiap alinea.
Saat semua kesibukan berakhir, kami pulang sejalan seperti yang dijanjikan. Lampu jalanan kami buat iri dengan tawa dan senyum diatas kuda besi. Suara knalpot bising menjadi bisu karena tawanya. Mungkin ini hadiah dari sang pelukis langit, ditambah lagi dengan bonusnya, kanvas biru yang tadinya biru sendiri beranjak memerah, mungkin mereka sedang tersipu malu melihat kami dari atas sama. Senja magenta, tersenyum tanpa adanya gemuruh angin yang melarangnya menggurat senyum kami. Senja magenta, lembayung katanya, kata itu menjadi harmoni saat pukul 6 mulai menerikkan panggilan-Nya. Terima kasih untuk-Mu yang meletakkanku dalam diorama yang sulit ku ubah namun terlalu indah untuk kutinggalkan, terima kasih untukmu yang mengijinkanku duduk diteras rumahmu yang indah walau datang tanpa permisi, disini bisa ku nikmati angin yang datang meredam api ini, hujan yang menyejukkan bara api sisa, dan pagi malam tanpa potongan retorika namun fakta yang membawaku kedalam fantasimu.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.