VI
Karena
Tanda Tanya
“Untuk
mu hujan, beri kami angin yang tak berputar. Kami hanya manusia, bukan ombak
yang sanggup terombang ambing dan tetap bersama. Kami pun bukan pelangi yang
mampu berdiri sendiri setelah kau pergi. Untuk mu hujan, aku rindu.” Ja’far
Subhi 10/3/13
Maaf jika aku enggan menuliskan cerita
kita, bukan karena rasa menjadi hambar atau warna mulai buta, tapi karena takut
yang menekan, karena tak adanya jawab tanpa retorika. Bukan pula karena cokelat
tak lagi memanjakan lidah cengeng ku, tapi karena manisnya yang menimbulkan
tanda tanya. Akan kah hujan tiba untuk menghapus gersang, akan kah tinta hitam
menulis dikertas yang memang untuknya.
Untuk mu, kutinggalkan secarik. Mungkin
kau bisa membantuku mengguratkan potongan detik yang menjadi hari dan kuharap
menahun sampai bumi bosan berputar. Atau mungkin kau bisa tulikan huruf kapital
untuk melanjutkan kisah dengan tanda baca yang membuatnya tak lagi buta dan
meraba makna dengan atau tanpa aku didalamnya.
“aku
tau kalimat apa yang bermakna tanpa henti walau tanpa tanda tanya. Aku afeksi
kamu. Tapi toh ada “titik” yang menandakan awal dan akhir dari kalimat itu”
Ja’far Subhi 29/3/13
Untuk mu. Nona kerudung cokelat dengan rona merah di pipi setelah
tertawa dalam canda senja. Kutitipkan secarik kertas ini untuk kau tulis sesukamu, entah tentang cerita kita nantinya atau ceritamu dengannya.

