Cerita Kerudung Cokelat

III

Jawaban Menjadi Pertanyaan

     Hari kamis entah bulan apa, kupaksa dia datang dengan alasan untuk mengisi waktu luang yang terasa sia sia jika hanya diisi dengan kegiatan menyelam diatas kasur. Diapun mengiyakan karena siang itu ada kegiatan kerohanian, “untuk mengisi hati” begitu katanya. Awan bermuka masam sudah menyambutku sore itu, sambil menunggu dia datang di tepian orang yang berlalu lalang. Ody, gitar kesayangannya, benda itu yang menjadi temanku saat gumpalan awan datang dengan marah dan angin yang mulai berlalu lalang. Kurasa dia tak jadi datang sore itu.

Salah! Dia datang! Bertemankan payung lucu karena dia dikejar butiran air yang turun setelah awan dan angin berkelahi, air itu turun membasahi tanah gersang. Tawa kecilku dalam hati mengguratkan senyum sekedarnya saat melihat dia tepati janji. Tapi butiran air datang dengan gaduh bersama dengan angin ricuh menutup suara riang kami, dan hembusan angin datang keroyokan membuat kerudungnya ruet diterjang angin yang membuat hidung mungilnya menggigil. Kuberikan jaketku agar hijabnya terjaga, tapi jujur, tubuh kurusku ini terlalu sombong dan ringkih untung melawan angin yang datang berjamaah.

Kubakar sebatang rokok dan mencoba untuk menahan dingin yang menusuk dari perut sampai tulang punggung, dan saat itu pula dia mengeluarkan kerudung miliknya dari tas “Nih pake”. Kerudung cokelat melilit di leherku yang hanya seluas genggaman 2 tangan. Hangat. Bukan tubuh, tapi hati, entah dari mana datangnya, mungkin kerudung cokelat miliknya yang kusulap jadi scarf, atau dari senyum sederhana miliknya sore itu.Entah apa namanya, yang jelas kini aku berada ditengah peta tanpa arah, petualanganku menguji seberapa kuat dan berani aku maju tanpa memikirkan resiko untuk dapat memandang senyum itu dalam dalam.

   Bulan sudah bosan berputar sesuka hati sampai akhirnya babak baru dalam cerita kamipun dimulai. Perlahan ku coba membawanya masuk kedalam bab ini setelah ku berhasil menyelesaikan puzzle alam bawah sadarku yang belakangan ini mulai meronta ronta karena belum tau arah. Memang butuh waktu lama untuk memahami apa yang sebenarnya kepala mie gorengku ini inginkan. Tapi toh akhirnya babak ini tertulis tanpa tinta ketika aku mulai memasuki dunia bernyawa miliknya. Dan bonusnya, aku menemukan segelas masa lalu yang belum dapat dia tinggalkan begitu saja. Gelas penuh penantian tanpa kepastian, terisi penuh dengan pengharapannya akan masa lalu tanpa ingat siapa nanti yang ada didepannya.

 Gelas ini kubawa saat ku mulai bercerita pada sederet siluet teman bicara, karena lagi lagi aku masuk kedalam dunia yang seharusnya bukan tempatku bertahta. Tapi mereka, siluet tempatku membagi naskah hidup, hanya tertawa saat mendengar cerita tentang manusia asap kribo dan wanita yang bertahtakan berlian surga yang masih tersangkut didalam segelas cerita SMAnya. Ku coba acuhkan semua ocehan siluet yang menemaniku malam itu karena “progresif”, sebuah kata singkat yang memiliki arti lebih besar dibandingkan  beban yang pikul dewa Atlas dalam mitos Yunani.

  Banyak yang sulit ku tuliskan pada bab ini, karena segelas masa lalunya yang ku telan mentah mentah tanpa bismillah sudah membuat kerongkongan ini serak dan tersedak setiap ingin berucap. Akhirnya dengan terpaksa, aku meminta bantuan dunia digital untuk menyampaikan apa yang sulit kuteriakan. Walaupun akhirnya aku dan wanita kerudung cokelat itu jadi sering memperdebatkan ideologi kami yang mereka anggap bodoh.


   Disatu sisi,  aku, seorang pemimpi yang terlalu banyak menyimpan ikon positif di sela-sela rambutku yang sulit di sisir. Sedangkan dia, wanita kerudung cokelat, seorang petani bawah tanah yang selalu memupuk bibit rindunya dengan segenap doa dan kesabaran, walau tanpa ada kejelasan bila mana keping bibit itu akan tumbuh dan menemaninya. Dan perdebatan itupun terhenti setelah tanda seru ku ukir di akhir alinea proklamasi hati.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.